SeDaRI HaKiKaT DuNia HaRi iNi

Make Money With cashCrate - Join me!!

Kehidupan adalah anugerah utama Ilahi. Anugerah khdupan ini memberi gambaran kebesaran-Nya buat kita semua. Anugerah ini wajib kita syukuri dan haragai. Internet adlh kemudahan buat umat manusia yg tdk kira umur, pangkat, agama, bangsa, Negara dan yg sewaktu dgnnya. Justeru itu, manfaatkanlah ia utk kesejahteraan diri kita dan umat sejagat. Sentiasalah kita beringat bhw apa shja yg kita lakukan akan dip't/jawabkan pda kemudian hari.


Gunakan sebaik-baiknya kurnia Allah swt kpd kita. Halalkan kegunaan akal. Hati dan lidah pda perkara yg bakal membawa kpd kecemerlangan diri kita samaada di dunia mahupun di akhirat. Kita hidup hanya sekali. Sekali ‘pergi’ tak akan ‘kembali’. Bak pepatah melayu,’buat baik berpada-pada dan buat jahat JANGAN sekali’. Kewujudan website ini dgn blog sbg wadah utk meningkatkan nilai diri. Bermatlamatkan penyatuan ummah dgn ciri-ciri kemurnian budi dan budaya. Walaupun dunia terus maju dgn teknologi, kita seharusnya terus mengekalkan akhlak dan jati diri insani.

Tuesday, July 27, 2010

TENTANG DISIPLIN

8 TIPS MEMOTIVASI DISIPLIN DIRI DALAM BERSIKAP & BERPERILAKU POSITIF

1. Memilih makanan sehat/tak jajan makanan sembarangan.

balita-sekolah : Mulailah dari diri orang tua sendiri, iaitu dengan selalu menyediakan makanan sehat di rumah, tidak memberikan contoh jajan makanan yang tak sihat semisal beli makanan gorengan, dan sebagainya. Orang tua pun selalu menjelaskan pada anak akan pentingnya makanan sehat serta bahayanya makanan tak sehat yang mengandung pengawet, pewarna dan penambah rasa. Berikan contoh-contoh dari dampaknya yang bisa anak ketahui. Penjelasan ini tentunya harus dilakukan berulang-ulang sehingga anak mengerti. Dengan begitu, ia akan terbiasa dan tak masalah jika tak diberi makanan yang tak dibolehkan.

Bagaimana jika dibuatkan jadwal tertentu? Misal, hanya pada saat weekend saja atau saat berbelanja bulanan saja, sehingga anak tetap bisa merasakan makanan tertentu tanpa harus memuasakannya sama sekali. Hal ini boleh saja tergantung pada kebijakan masing-masing orangtua. Begitu pun bila orangtua memberlakukan “larangan” secara ekstrem lantaran anaknya mengalami autisma, misal.

2. Tak asal belanja barang/ mainan.

Sebetulnya hal ini tergantung bagaimana ketaatan orangtua dalam meluluskan atau tidaknya permintaan anak. Ada tipe orangtua yang senang memberikan apa pun yang dianggapnya menarik, lucu dan baik buat anak, meski si anak tidak memintanya, Ada juga orangtua yang main gampang saja dan tak mau repot dengan menuruti apa pun yang diminta anak daripada mendengar anaknya merengek atau ngamuk lantaran tak dikabulkan. Nah, bila Ibu dan Bapak termasuk orangtua tipe ini, tak heran bila si kecil akan terdorong untuk selalu ingin membeli/belanja barang atau sesuatu sesuai keinginannya. Padahal, dampaknya buruk buat anak. Salah satunya, anak jadi cenderung egois dan manja. Orangtua pun akan terbebani dan tersusahkan oleh perilaku anaknya ini.

Jadi, orangtua perlu introspeksi diri dan segera mengubah perilakunya yang merugikan itu. Hendaknya orangtua tidak selalu meluluskan permintaan anak. Jika ia sudah punya barang yang sejenis/hampir sama dengan yang akan dibelinya, jelaskan, ia sudah memiliki banyak barang tersebut. Ajarkan pula, ia boleh membeli sesuatu yang memang dibutuhkannya. Ingatkan anak, semua yang harus dibeli tentunya menggunakan uang yang didapat dari hasil kerja keras orangtua. Anak harus bisa menghargainya dengan cara tidak menghamburkan uang melainkan berhemat. Begitu pun dengan mainan/barang yang sudah dimilikinya, anak harus bisa menghargainya dengan menjaga baik-baik dan tidak merusaknya. Bahkan ajari anak untuk membagi barang yang dimilikinya kepada anak-anak yang kurang beruntung.

Berikan pula pilihan pada anak untuk membeli sesuatu yang diinginkan atau memilih waktu bersama orangtua, misalnya berenang. Umumnya, anak usia prasekolah—bila dibandingkan anak yang usianya lebih besar—akan lebih memilih waktu bersama orangtua. Jika bukan itu pilihan anak, maka orangtua perlu introspeksi diri.

3. Menahan emosi.

Perilaku agresif anak seperti memukul, mencubit, melempar dan sebagainya bukanlah perilaku menyenangkan bagi semua orang. Jika anak bersikap agresif dan tidak diatasi, akan menghambat anak dalam berhubungan dengan orang lain. Bukankah orangtua pun akan merasa kesulitan? Karenanya, orangtua perlu memberikan contoh perilaku baik yang diharapkan, selain juga menjelaskan secara terus-menerus agar anak mengerti.

Ajari anak mengendalikan emosinya dengan cara paling efektif yaitu pemberian time-out karena bisa menenangkan emosi anak, Jadi, saat anak dalam kondisi marah, minta ia masuk ke dalam suatu ruangan. Pilihlah ruang yang nyaman semisal ruang tidurnya atau lainnya. Diamkan anak dalam ruang tersebut. Berikan waktu untuk anak mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya. Lamanya tergantung pada tingkat usia anak, tingkat kemarahan dan juga kemampuan mengatasinya. Jika anak sampai memberantakkan kamarnya, minta dia untuk membereskan kembali. Selesai waktu time-out, beri penjelasan pada anak tentang apa yang jadi harapan dan keinginan orangtua dari sikapnya. Juga beri pujian atau ajak anak melakukan kegiatan bersama, semisal memasak bersama.

4. Gosok gigi.

Tak ingin punya anak kecil-kecil sudah rusak giginya, bukan? Maka itu anak harus diajarkan menjaga kesehatan giginya. Caranya antara lain dengan menyediakan peralatan gosok gigi dan pasta gigi khusus anak yang menarik. Beri alasan pada anak mengapa ia harus menggosok giginya setiap pagi sesudah makan dan sebelum tidur malam. Efektifnya, orangtua memberikan contoh. Siapkan peralatan gosok gigi sebelum mandi pagi dan lakukan kegiatan gosok gigi bersama sebelum tidur. Bisa juga dengan menempelkan jadwal di papan. Jika anak melakukannya maka akan mendapat stiker bintang/kupon kecil. Stiker/kupon ini bisa ditukarkan dengan reward tertentu bila mencapai jumlah tertentu. Misal, ditukarkan dengan nonton film di bioskop, buku cerita, dan sebagainya.

5. Tidak nonton sinetron dengan muatan buruk.

Jika kedua orangtua bekerja, bisa saja pengaruh ini didapat dari kebiasaan pengasuh menonton sinetron. Tentunya, harus ada aturan jelas yang ditetapkan bagi orang di rumah dan diperlukan kerja samanya. Selain itu, berikan penjelasan pada anak mengapa ia tidak dibolehkan menonton sinetron dewasa. Katakan dengan bahasa yang mudah dicerna dan dimengerti anak, semisal bahwa tontonan tersebut tidak bagus dan bisa membuatnya bodoh. Alihkan tontonan anak pada film-film yang memang khusus untuk seusianya. Orangtua bisa membelikan VCD atau berlangganan televisi kabel, umpamanya. Dengan dibiasakan seperti ini anak juga lama-lama tak masalah bila tak menonton televisi. Juga anak tak merasa suatu keharusan untuk menonton.

6. Bangun pagi sebelum berangkat sekolah.

Di usia prasekolah, kebanyakan anak sudah duduk di TK dan mereka harus bisa bangun pagi untuk bersiap berangkat sekolah. Nah, agar anak bisa bangun pagi dan berangkat sekolah tanpa ada masalah/hambatan, maka malamnya jangan biarkan anak tidur larut. Kemudian paginya, bangunkan dia dengan menyetelkan lagu-lagu anak yang menyenangkan atau apa pun yang disukai anak di pagi hari. Intinya, buatlah keramaian di pagi hari. Perhatikan pula karakter masing-masing anak. Ada anak yang butuh waktu lebih lama dari bangun pagi untuk mandi, ada juga yang cepat. Lakukan pendekatan pada masing-masing anak. Motivasi bisa dilakukan pula dengan pemberian stiker untuk kemudian ditukar dengan suatu reward. Namun, jika anak selalu malas-malasan untuk berangkat ke sekolah apalagi sampai mogok sekolah, orangtua perlu mencari penyebabnya. Mungkin ada masalah di sekolahnya.

7. Punya waktu belajar.

Anak perlu memiliki sikap positif dengan mau belajar di jam-jam tertentu. Memang, anak usia ini belum belajar dalam arti sesungguhnya dan juga belum mendapat PR dari sekolahnya. Namun dengan dibiasakan belajar di waktu-waktu tertentu akan mempermudah orangtua saat kelak anak di usia sekolah. Anak akan terbiasa melakukan kegiatan belajar di jadwal tersebut.

Cara memotivasinya dengan memberikan aktivitas atau kegiatan belajar sambil bermain di waktu khusus belajar. Orangtua harus terlibat di dalamnya, menemani, membantu dan juga mengarahkan. Sediakan pula buku-buku aktivitas, semisal buku aktivitas menggambar, mewarnai, berhitung, dan sebagainya. Lakukan secara rutin aktivitas ini. Mengingat konsentrasi anak belum terbentuk baik di usia ini, maka tingkatkan terus konsentrasinya dari waktu ke waktu agar anak mau melakukan aktivitasnya dengan baik.

8. Mau membaca.

Tak menutup kemungkinan anak usia ini ada yang sudah bisa membaca. kalaupun anak belum bisa membaca namun orangtua tetap perlu menanamkan kebiasaan membaca sejak dini. Orangtua harus memberikan contoh dengan suka membaca dan membacakan buku cerita atau dongeng sebelum tidur secara rutin sehingga ada keinginan anak untuk mau bisa membaca sendiri. Bisa juga orangtua membacakan cerita sambil bermain peran. Lama kelamaan anak akan mau membaca. Lakukan pula kegiatan belajar membaca sambil bermain yang bisa orangtua ciptakan secara kreatif.
sumber:http://www.tipstrik.com


PENGARUH PENERAPAN HUKUMANTERHADAP KEMANDIRIAN SISWA DALAM BELAJAR

A. Pengertian Hukuman, Disiplin dan Mandiri

Hukuman adalah vonis dari pengadilan terhadap sseorang yg terbukti bersalah (Purwadarminta, kamus umum bahasa Indonesia:1991). Pembentukan disiplin diri merupakan suatu proses yang harus dimulai sejak masa kanak-kanak. Oleh karena itu pendidikan disiplin pertama-tama sudah dimulai dari keluarga (orang tua). Dalam kehidupan masyarakat secara umum, metode yang paling sering digunakan untuk mendisiplinkan warganya adalah dengan pemberian hukuman.

Hal yg sama dilakukan juga oleh sebagian besar org tua @pun guru dalam mendidik anak-anak @ muridnya. Kerugiannya adalah disiplin yg tercipta merupakan disiplin jangka pendek, artinya anak hanya menurutinya sebagai tuntutan sesaat, sehingga seringkali tidak tercipta disiplin diri pada mereka. Hal tersebut disebabkan karena dengan hukuman anak lebih banyak mengingat hal-hal negatif yang tidak boleh dilakukan, daripada hal-hal positif yang seharusnya dilakukan.

Tampak lain dari penggunaan hukuman adalah perasaan tidak nyaman pada anak karena harus menanggung hukuman yang diberikan orang tuanya jika ia melanggar batasan yang ditetapkan. Tidak mengherankan jika banyak anak memiliki persepsi bhwa disiplin itu adalah identik dengan penderitaan. Persepsi tersebut bukan hanya terjadi pda anak-anak tetapi juga seringkali dialami oleh orang tua mereka. Akibatnya tidak sedikit org tua membiarkan anak-anak “bahagia” tanpa disiplin. Tentu saja hal ini merupakan suatu kekeliruan besar, krn di masa-masa perkembangan berikutnya maka individu tersebut akan mengalami berbagai masalah dan kebingungan karena tidak mengenal aturan bagi dirinya sendiri.

Disiplin adalah proses pelatihan pikiran dan karakter, yang meningkatkan kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri, dan menumbuhkan ketaatan atau kepatuhan terhadap tata tertib atau nilai tertentu (Andrias Harefa, menjadi manusia pembelajar). Disiplin di sini dimaksudkan cara kita mengajarkan kepada anak ttang perilaku moral yang dapat diterima kelompok. Tujuan utamanya adalah memberitahu dan menanamkan pengertian dlm diri anak ttg perilaku mana yang baik dan mana yang buruk, dan untuk mendorongnya memiliki perilaku yg sesuai dengan standar ini. Dalam disiplin, ada tiga unsur yg penting, yaitu hukum atau peraturan yg berfungsi sebagai pedoman penilaian, sanksi atau hukuman bagi pelanggaran peraturan itu, dan hadiah untuk perilaku atau usaha yang baik (Dr. Martin Leman, disiplin anak:2000).

Mandiri adalah suatu sikap dimana seseorang terbebas dari sifat ketergantungan dari pihak luar. Berkenaan dgn sikap mandiri ini maka motivasi adalah salah satu cara bagaimana membentuk ssorg bisa menjadai mandiri. DalAm kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab ssorang yg tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.

Motivasi ada dua, yaitu motivasi Intrinsik dan motivasi ektrinsik.

1) Motivasi Intrinsik: Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri.

2) Motivasi Ekstrinsik: Jenis motivasi ini timbul sebagai akibat pengaruh dari luar individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan keadaan demikian siswa mau melakukan sesuatu atau belajar.

B. Hal-Hal yg Melatar Belakangi Adanya Hukuman Dan Ganjaran (Penghargaan)

Untuk anak yang masih dalam usia pra sekolah, yang harus ditekankan adalah aspek pendidikan dan pengertian dlam disiplin. Seorang anak yg masih usia pra sekolah ini, diberi hukuman hanya kalau mmang t'bukti bhwa ia sebenarnya mengerti apa yg diharapkan & terlebih bila ia memang sengaja melanggarnya. Sebaliknya bila saat ia berperilaku sosial yang baik, ia diberikan hadiah, biasanya ini akan meningkatkan keinginannya untuk lebih banyak belajar berperilaku yang baik.

Ada b'bagai cara yg umum digunakan oleh org tua utk m'disiplinkn anak2 & remaja, antara lain :

1. Disiplin Otoriter

Disiplin Otoriter adlh bentuk disiplin yg tradisional yg berdasar pda ungkapan kuno “menghemat cambukan berarti memanjakan anak”. Pda model disiplin ini, org tua atau pengasuh m'berikan anak peraturan2 dan anak harus mematuhinya. Tidak ada penjelasan pd anak mengapa ia harus mematuhi, dan anak tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya ttg aturan itu. Anak harus mentaati peraturan itu, jika tidak mau dihukum. Biasanya hukuman yang diberikan pun agak kejam dan keras, karena dianggap merupakan cara terbaik agar anak tidak melakukan pelanggaran lagi di kemudian hari. Seringkali anak dianggap sudah benar2 mengerti aturannya, dan ia dianggap sengaja melanggarnya, shgga anak tidak perlu diberi ksempatan mengemukakan pendapatnya lagi. Jika anak mlakukan sstu yg baik, hal ini juga dianggap tdak perlu diberi hadiah lagi, krna sudah merupakan kewajibannya. P'berian hadiah malahan dipandang dpt mendorong anak utk selalu m'harapkan adanya sogokan agar melakukan sstu yg diwajibkan masyarakat.

2. Disiplin yang lemah

Disiplin model ini biasanya timbul dan berkembang sebagai kelanjutan dari disiplin otoriter yang dialami orang dewasa saat ia anak-anak. Akibat dahulu ia tidak suka diperlakukan dengan model disiplin yg otoriter, maka ketika ia memiliki anak, di didiknya dengan cara yg sangat berlawanan. Menurut teknik disiplin ini, anak akan belajar b/mana b'perilaku dri setiap akibat perbuatannya itu sendiri. Dengan demikian anak tidak perlu diajarkan aturan-aturan, ia tidak perlu dihukum bila salah, namun juga tidak diberi hadiah bila berperilaku sosial yang baik. Saat ini bentuk disiplin ini mulai ditinggalkan karena tidak mengandung 3 unsur penting disiplin.

3. Disiplin Demokratis

Disiplin jenis ini, menekankan hak anak untuk mengetahui mengapa aturan-aturan dibuat dan memperoleh kesempatan mengemukakan p'dapatnya sendiri bila ia mnganggap bhwa peraturan itu tidak adil. Walaupun anak masih sangat muda, ttpi daripadanya tidak diharapkan kepatuhan yg buta. Diupayakan agar anak memang mengerti alasan adanya aturan2 itu, dan mengapa ia diharapkan mematuhinya. Hukuman atas pelanggaran yg dilakukan, disesuaikan dengan tingkat kesalahan, dan tidak lagi dengan cara hukuman fisik. Sedangkan perilaku sosial yang baik dan sesuai dengan harapan, dihargai terutama dengan pemberian pengakuan sosial dan pujian.

Adapun penerapan tip-tip disiplin ini memberi kesan yang cukup nyata bedanya. Pengaruh penerapan disiplin ini pada anak, meliputi beberapa aspek, misalnya :

1. Pengaruh pada perilaku

Anak yang mengalami disiplin yang keras, otoriter, biasanya akan sangat patuh bila dihadapan orang – orang dewasa, namun sangat agresif terhadap teman sebayanya. Sedangkan anak yang orang tuanya lemah akan cenderung mementingkan diri sendiri, tidak menghiraukan hak orang lain, agresif dan tidak sosial. Anak yang dibesarkan dengan disiplin yang demokratis akan lebih mampu belajar mengendalikan perilaku yang salah dan mempertimbangkan hak-hak orang lain.

2. Pengaruh pada sikap

Baik anak yang dibesarkan dengan cara disiplin otoriter maupun dgan cara yang lemah, memiliki kecenderungan untuk membenci orang yang berkuasa. Anak yg diperlakukan dgn cara otoriter merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Sedangkan anak yang orang tuanya lemah merasa bahwa orang tua seharusnya memberitahu bahwa tidak semua orang dewasa mau menerima perilakunya. Disiplin yg demokratis akan menyebabkan kemarahan sementara, ttapi kemarahan ini bukanlah kebencian. Sikap-sikap yang terbentuk sebagai akibat dari metode pendidikan anak cenderung menetap dan bersifat umum, tertuju kepada semua orang yang berkuasa.

3. Pengaruh pada kepribadian

Semakin banyak anak diberi hukuman fisik, semakin anak menjadi keras kepala & negativistik. Ini memberi dampak penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk, yang juga memberi ciri khas dari anak yang dibesarkan dgan disiplin yang lemah. Bila anak dibesarkan dengan disiplin yang demokratis, ia akan mampu memiliki penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial yang terbaik.

Persepsi yg sering keliru adalah pengertian istilah p'berian hadiah. Kadang org tua beranggapan bahwa memberikan hadiah selalu berupa memberi mainan, permen, coklat, atau hadiah lain yg berupa benda. Sebenarnya hadiah juga dapat berupa bukan benda, misalnya berupa pengakuan atau pujian pda anak. Para org tua yg menggunakan cara disiplin demokratis, tidak mau banyak memberi hadiah berupa benda. Mereka khawatir hal ini akan memanjakan anak atau takut cara ini dianggap sebagai bentuk penyuapan yang merupakan teknik disiplin yang buruk.

Pelanggaran berupa bentuk ringan dari ketidaktaatan pada aturan @ perbuatan yg keliru sangat sering t'jadi pd masa prasekolah. Pelanggaran ini disbbkan oleh tiga hal. Pertama, ketidaktahuan anak bhwa perilakunya itu tidak baik @ tidak dibenarkan. Anak mungkin saja sudah diberi tahu berulang kali dan ia pun hafal kata2 aturannya itu, ttpi ia tidak mengerti konsep yg dikandung dr aturan itu, dan kapan ia harus menerapkannya. Sbgai contoh, anak bisa mengerti bhwa mencuri adalah tidak boleh, tetapi ia belum tentu tahu bahwa mencontek juga termasuk mencuri.

Hal kedua yg sering juga menjadi penyebab anak melanggar adalah anak belajar bahwa sengaja tidak patuh dalam hal yang kecil-kecil umumnya akan mendapatkan perhatian yang lebih besar daripada perilaku yang baik. Jadi kadang anak yang merasa diabaikan, demi menarik perhatian orang tuanya sengaja berbuat salah dgn harapan akan memperoleh perhatian lebih. Dan ketiga, pelanggaran dapat disebabkan oleh kebosanan. Bila anak tidak memiliki kegiatan untuk mengisi waktu luang, maka kadangkala anak ingin membuat kehebohan. Atau kadang bisa juga ia hendak menguji kekuasaan org dewasa dgn melihat sberapa jauh ia dpt melakukan sstu tanpa dihukum.

4. Anak yang lebih besar

Bgi anak yg lebih besar, yg sudah masuk usia sekolah, disiplin b'peranan penting dlm p'kmbngan moral. Disiplin bagi anak yang lebih besar ini menjadi hal yang lebih serius lagi. Teknik disiplin yg pada usia pra sekolah tampaknya efektif, tidak bisa dijalankan tetap dgan cara yang sama terus menerus. Bagi anak yg sudah diusia sekolah ini, disiplin yang diterapkan juga harus disesuaikan dengan tingkat perkembangannya. Hal yang perlu lebih diperhatikan antara lain adalah :

Anak yang lebih dewasa, semakin lama semakin membutuhkan penjelasan mengenai mengapa hal tertentu tidak boleh dilakukan, dan mengapa hal lain baik untuk dilakukan. Anak semakin mampu memahami konsep tentang perilaku yang baik, dan wawasannya juga semakin meluas. Sebagai akibatnya, tuntutan atas penjelasan berbagai hal semakin besar pula.

Pemberian ganjaran seperti pujian atau perlakuan khusus bila anak melakukan sesuatu yang baik, mempunyai nilai yang positif dalam mendorong anak berusaha berbuat lebih baik lagi lain kali. Akan tetapi pemberian pujian dan perlakuan istimewa pun harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak, jangan dari kecil hingga besar sama saja.

Pemberian hukuman juga harus dilakukan sesuai dengan tingkat perkembangannya. Hukuman jga harus bersifat lebih mendidik, bukan malah menimbulkan kebencian dan rasa dipermalukan. Hukuman yang diberikan harus proporsional dengan tingkat pelanggaran, dan anak harus dibuat mengerti mengapa hal yang dilakukan itu salah.

Konsistensi dalam memberikan hukuman atau ganjaran pun penting. Untuk kesalahan yang sama berikan hukuman yang sama, dan sebaliknya juga untuk hal yang baik. Apa yang benar dan baik hari ini, akan tetap benar esok hari. Jangan apa yang hari ini benar dan baik, besoknya menjadi hal yang dianggap salah dan patut dihukum. ( Majalah ‘Anakku’ ed.4, thn 2000)

Ada beberapa hal pokok yang dapat diacu sebagai dasar merespon setiap perilaku dalam rangka pendidikan disiplin, diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Berkelanjutan

Pendidikan merupakan suatu proses b'kelanjutan, artinya disiplin tidak hanya diberikan setelah anak masuk sekolah @ setelah masa remaja, ttpi harus sudah dilatih sejak anak baru dilahirkan ke dunia ini. Sejak anak membutuhkan kedekatan dengan orang dewasa, membutuhkan kasih sayang orang dewasa. Orang tua dapat memulai mendidik disiplin dgn menunjukan mana yang boleh dan mana yg tidak boleh, mana yang baik dan mana yang jelek. Sebagai contoh agar anak dapat disiplin dalam buang air, maka orang tua harus secara berkelanjutan dan konsisten dalam membersihkan dan mengganti pakaian sang bayi, ia di kenalkan pada situasi yg menyenangkan dan tahu apa yg harus dilakukan dgn semestinya sejak dini. Dgn perlakuan org tua yg demikian akan meringankan tugas pda masa berikutnya krn anaknya tidak akan mengenal ngompol.

Selain itu pendidikan disiplin tidak hanya ditekankan pda wktu anak membuat perilaku yg tidak diinginkan @ pada waktu anak gagal mencapai harapan orang tua. Perilaku2 yg diinginkan pun perlu (meski tidak harus terus-menerus), mendapatkan pengakuan, persetujuan @ p'hargaan. Jika anak sejak bayi telah dilatih untuk berdisiplin maka pada masa remaja ia akan memiliki disiplin diri yang cukup sehigga akan mampu menahan segala godaan yang datang dari teman maupun lingkungan sekitarnya.

b. Autoritatif

Pendidikan disiplin sebaiknya tidak dilakukan dengan cara yang terlalu otoriter, tetapi juga tidak terlalu memperbolehkan semuanya (permisif). Cara yang tepat dalam pendidikan disiplin bagi remaja disebut dengan istilah moderatnya autoritatif : fleksibel, tetapi bila perlu tegas. Dalam menerapkan cara disiplin yg permisif (dapat dikatakan sbg mendidik tanpa disiplin) cenderung menghasilkan anak remaja yg manja, semena2, anti sosial dan cenderung agresif. Sebaliknya, disiplin yang keras yang terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja.

Hal ini dapat membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif bahkan ada pula yang pada akhirnya melampiaskan kemarahannya pada orang lain. Hubungan dengan lingkungan sosial akan lebih berorientasi kepada kekuasaan dan ketakutan. Siapa yang lebih berkuasa dapat berbuat sekehendak hatinya. Sedangkan yang tidak berkuasa menjadi tunduk. Ada pula yang menimbulkan pembelotan, hal ini terjadi terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain untuk memenuhi kebutuhan yang mendasar. Contoh: remaja dilarang untuk keluar bermain, tetapi di dalam rumah ia tidak melakukan apa-apa dan tidak diperhatikan oleh kedua orang tuanya karena kesibukan mereka.

c. Beri Batas-Batas Yang Jelas

Batas-batas tentang boleh atau tidak boleh haruslah jelas, misalnya kapan anak boleh bermain, dimana dan dengan siapa sehingga anak tidak mengganggu orang lain dan menghindarkan anak dari kecelakaan. Sejak masa kanak-kanak orang tua harus sudah memberikan batasan-batasan tersebut. Misalnya: anak boleh mengambarkan dengan pensil warna dikertas-kertas, dipapan yang telah ditentukan, tetapi tidak boleh di buku pelajaran kakaknya, buku ayah atau ibu, dan tidak boleh menggambar di tembok.

Penting bagi orang tua untuk mengingat bahwa batasan dan fasilitas yang diberikan oleh orang tua, hendaknya memenuhi kriteria tertentu: diperlukan, masuk akal, diberikan dengan penuh ketulusan dan kebaikan hati, dan secara konsisten sesuai kematangan anak. Fasilitas dianggap diperlukan bila anak dapat mencapai kemajuan yang lebih baik jika adanya fasilitas tersebut. Batas dan fasilitas dianggap masuk akal bila memenuhi pertimbangan kesehatan dan keadilan. Kebaikan hati adalah keinginan dalam memenuhi kebutuhan anak untuk berkembang seoptimal mungkin tanpa melampaui kemampuan anak mengontrol diri. Fasilitas yang konsisten dengan kematangan umum anak berarti tergantung pada perkembangan kecerdasan dan kematangan anak. Makin berkembang kematangan anak akan makin dapat diperluas batas-batas dan fasilitas. Dengan kata lain pada remaja luasnya batas tersebut sangatlah ditentukan kematangan yang telah dicapai oleh remaja tersebut.

d. Konsisten dan Fleksibel

Setelah batas-batas ditentukan, maka orang tua harus mengupaya kesepakatan dengan anaknya untuk saling mematuhi apa yang telah ditentukan. Walau demikian, batas-batas yang ditentukan ini harus terus direvisi sesuai dengan perkembangan anak dan anak telah mencapai remaja maka penentuannya harus mengikut sertakan masukan dari remaja. Dengan cara tersebut diharapkan dapat membantu remaja untuk lebih cepat mengembangkan tanggung jawab atas disiplin diri.

Meski batas-batas telah ditetukan ada kalanya keadaan memaksa dan batas tersebut terpaksa dilanggar. Dalam kondisi ini orang tua perlu segera memberitahu dan menjelaskan pada remaja bahwa keadaan tersebut dapat dipahami dan diterima oleh orang tua namun bukan berarti bahwa batasan yang telah ditentukan tidak berlaku lagi. Sikap dan komunikasi orang tua semacam ini akan dapat mengurangi rasa berdosa, penyesalan bahkan rasa sakit hati yang tidak diperlukan.

e. Menjelaskan Secara Lengkap

Terkadang seorang anak berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan orang tua dengan alasan karena ia tidak tahu. Untuk mengatasi hal tersebut maka orang tua sangat perlu untuk mengupgrade diri sehingga mampu menjelaskan secara lengkap apa yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan, mengapa hal itu boleh/tidak, apa dampaknya jika dilakukan/tidak dilakukan, dan sebagainya. Janganlah menganggap bahwa anak selalu mempunyai pertimbangan sematang orang tua (meski harus diakui ada remaja yang jauh lebih matang cara pandang/pikir dari orang tuanya). Kesalahan yang seringkali dilakukan orang tua adalah terlalu menganggap anaknya sudah mampu untuk mempertimbangkan segala sesuatu. Apalagi pada masa remaja, sang anak cenderung terlihat sangat mandiri. Banyak orang tua yang lupa bahwa anak remajanya masih membutuhkan penjelasan dan bimbingan dari orang tua, meski mereka terlihat enggan untuk mengakuinya. Dalam hal ini, justru orang tua lah yang seharusnya segera sadar dan mempertimbangkan bahwa anaknya masih belum tahu dan sesegera mungkin mengajarkan hal-hal tersebut kepada remaja tersebut. Bukankah orang tua yang seharusnya lebih memahami anak-anaknya secara rinci.

f. Berlatih

Orang tua hendaknya mengarahkan anak untuk mengembangkan pola-pola kebiasaan yang baik. Kebiasaan-kebiasaan baik tersebut harus sudah dilatih terus-menerus sejak usia dini, misalnya anak dibiasakan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, mematuhi jadwal belajar dan bermain, tidur dan bangun pagi secara teratur, dan sebagainya. Hal ini perlu, sebab setiap kebiasaan dan pola perilaku yang terbentuk pada masa kanak-kanak akan banyak mempengaruhi kebiasaannya kelak ketika dia dewasa.

g. Hukuman

Hukuman yang mendidik adalah hukuman yang menyadarkan pihak yang bersalah dalam hal ini remaja, bahwa hal yang baru saja terjadi hendaknya tidak diulangi karena hal tersebut tidak disetujui orang tua. Hukuman haruslah dipandang sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatan yang melanggar batasan-batasan yang ditetapkan. Hukuman tidak harus selalu menyakitkan, dan jangan dijadikan sebagai luapan kemarahan atau penyakuran emosi dari si penghukum (orang tua). Jika harus memberikan hukuman, hukumlah anak sesuai dengan tingkat pemahaman anak tentang hukuman tersebut. Hukuman yang terlalu berat akan mengakibatkan anak mendendam, dan bila ia tidak dapat membalaskan dendamnya akan terjadi pengalihan dalam bentuk kekerasan terhadap orang lain (tawuran) dan vandalism (mis. Coret-coret, merusak properti orang lain). Penting diperhatikan dalam pemberian hukuman adalah penjelasan mengapa anak terpaksa dihukum, hukuman harus dilakukan segera setelah perilaku terjadi, dan jangan melakukan hukuman fisik, seperti memukul atau menampar, dan sebagainya terhadap anak-anak.

h. Komunikasi

Dalam kenyataan sehari-hari, banyak masalah yang berhubungan dengan disiplin sebenarnya dapat diselesaikan dengan menggunakan komunikasi timbal balik yang efektif antara anak dan orang tua. Dalam hal ini cara-cara berkomunikasi akan memegang peranan penting dalam pembentukan disiplin. Komunikasi dalam bentuk sindiran, hinaan, merendahkan harga diri orang lain hendaknya digunakan seminimal mungkin, bahkan harus dihindari sama sekali. Anak dan remaja sangatlah peka terhadap hal ini, dan dapat sakit hati karenanya. Jika cara-cara tersebut yang digunakan untuk mendisiplinkan anak, cara-cara demikian akan cenderung ditiru dalam hubungan interpersonal dengan orang-orang lain yang akibatnya dapat merugikan diri sang anak maupun orang lain.

C. Peranan Guru dalam Membentuk Kedisiplinan

1. Pengertian Guru

Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru. Beberapa istilah yang juga menggambarkan peran guru, antara lain: Dosen, Mentor dan Tutor.

Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Menurut Zakiah Darajat (1992), tidak sembarangan orang dapat melakukan tugas guru, tetapi orang-orang tertentu yang memenuhi persyaratan berikut ini yang dipandang mampu : bertakwa, berilmu, sehat jasmani, dan berkelakuan baik.

2. Peranan Guru dalam Pendidikan

WF Connell (1972) membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga.

Peran guru sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan dengan tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter), tugas-tugas pengawasan dan pembinaan (supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar anak itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat. Tugas-tugas ini berkaitan dengan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memperoleh pengalaman-pengalaman lebih lanjut seperti penggunaan kesehatan jasmani, bebas dari orang tua, dan orang dewasa yang lain, moralitas tanggung jawab kemasyarakatan, pengetahuan dan keterampilan dasar, persiapan.untuk perkawinan dan hidup berkeluarga, pemilihan jabatan, dan hal-hal yang bersifat personal dan spiritual. Oleh karena itu tugas guru dapat disebut pendidik dan pemeliharaan anak. Guru sebagai penanggung jawab pendisiplinan anak harus mengontrol setiap aktivitas anak-anak agar tingkah laku anak tidak menyimpang dengan norma-norma yang ada.

Peran guru sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai-nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.

Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah seperti persiapan perkawinan dan kehidupan keluarga, hasil belajar yang berupa tingkah laku pribadi dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial tingkah laku sosial anak. Kurikulum harus berisi hal-hal tersebut di atas sehingga anak memiliki pribadi yang sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dianut oleh bangsa dan negaranya, mempunyai pengetahuan dan keterampilan dasar untuk hidup dalam masyarakat dan pengetahuan untuk mengembangkan kemampuannya lebih lanjut.

Peran guru sebagai pelajar (leamer). Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan supaya pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya tidak ketinggalan jaman. Pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan tugas profesional, tetapi juga tugas kemasyarakatan maupun tugas kemanusiaan.

Peran guru sebagai setiawan dalam lembaga pendidikan. Seorang guru diharapkan dapat membantu kawannya yang memerlukan bantuan dalam mengembangkan kemampuannya. Bantuan dapat secara langsung melalui pertemuan2 resmi maupun pertemuan insidental.

Peranan guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan di segala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat mengembangkan kemampuannya pada bidang-bidang dikuasainya.

Guru sebagai administrator. Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu seorang guru dituntut bekerja secara administrasi teratur. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab administrasi yang dikerjakan seperti membuat rencana mengajar, mencatat hasil belajar dan sebagainya merupakan dokumen yang berharga bahwa ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik.

Efektivitas dan efisien belajar individu di sekolah sangat bergantung kepada peran guru. Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai :

1) Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;

2) Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;

3) Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;

4) Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;

5) Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).

Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup :

1) Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;

2) Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik dan humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).

3) Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.

Selanjutnya dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching).

Di lain pihak, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan guru di sekolah, keluarga dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inovator), dan agen masyarakat (social agent).

Lebih jauh, dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan aktivitas pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari sudut pandang psikologis.

Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan sebagai :

1) Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan;

2) Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam pendidikan;

3) Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang harus diajarkannya;

4) Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta didik melaksanakan disiplin;

5) Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung dengan baik;

6) Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan peserta didik sebagai generasi muda yang akan menjadi pewaris masa depan; dan

7) Penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat.

Di pandang dari segi diri-pribadinya (self oriented), seorang guru berperan sebagai :

1) Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat;

2) Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara terus menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya;

3) Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah;

4) model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh para peserta didik; dan

5) Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan gurunya.

Dari sudut pandang secara psikologis, guru berperan sebagai :

1) Pakar psikologi pendidikan, artinya guru merupakan seorang yang memahami psikologi pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik;

2) Seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations), artinya guru adalah orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia, khususnya dengan para peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan;

3) Pembentuk kelompok (group builder), yaitu mampu mambentuk menciptakan kelompok dan aktivitasnya sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan;

4) Catalyc agent atau inovator, yaitu guru merupakan orang yang mampu menciptakan suatu pembaharuan bagi membuat suatu hal yang baik; dan

5) Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan mental para peserta didik.

Sementara itu, Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukan dua peran utama guru dalam pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating learning). Yang dimaksud keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti : tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar, pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.

Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.

Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.

3. Fungsi Guru dalam Membentuk Kedisiplinan Siswa

Daoed Yoesoef (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan (sivic mission). Jika dikaitkan pembahasan tentang kebudayaan, maka tugas pertama berkaitan dengar logika dan estetika, tugas kedua dan ketiga berkaitan dengan etika.

Tugas-tugas profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya diketahui oleh anak.

Tugas manusiawi adalah tugas-tugas membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah transformasi diri, identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri.

Usaha membantu kearah ini seharusnya diberikan dalam rangka pengertian bahwa manusia hidup dalam satu unit organik dalam keseluruhan integralitasnya seperti yang telah digambarkan di atas. Hal ini berarti bahwa tugas pertama dan kedua harus dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu. Guru seharusnya dengan melalui pendidikan mampu membantu anak didik untuk mengembangkan daya berpikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga mampu untuk turut serta secara kreatif dalam proses transformasi kebudayaan ke arah keadaban demi perbaikan hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat di mana dia hidup.

Tugas kemasyarakatan merupakan konsekuensi guru sebagai warga negara yang baik, turut mengemban dan melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh bangsa dan negara lewat UUD 1945 dan GBHN.

Ketiga tugas guru itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi seorang guru harus mampu menjadi katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan tempat di mana ia bertempat tinggal. Ketiga tugas ini jika dipandang dari segi anak didik maka guru harus memberikan nilai-nilai yang berisi pengetahuan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang, pilihan nilai hidup dan praktek-praktek komunikasi. Pengetahuan yang kita berikan kepada anak didik harus mampu membuat anak didik itu pada akhimya mampu memilih nilai-nilai hidup yang semakin komplek dan harus mampu membuat anak didik berkomunikasi dengan sesamanya di dalam masyarakat, oleh karena anak didik ini tidak akan hidup mengasingkan diri. Kita mengetahui cara manusia berkomunikasi dengan orang lain tidak hanya melalui bahasa tetapi dapat juga melalui gerak, berupa tari-tarian, melalui suara (lagu, nyanyian), dapat melalui warna dan garis-garis (lukisan-lukisan), melalui bentuk berupa ukiran, atau melalui simbul-simbul dan tanda-tanda yang biasanya disebut rumus-rumus.

Jadi nilai-nilai yang diteruskan oleh guru atau tenaga kependidikan dalam rangka melaksanakan tugasnya, tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan, apabila diutarakan sekaligus merupakan pengetahuan, pilihan hidup dan praktek komunikasi. Jadi walaupun pengutaraannya berbeda namanya, oleh karena dipandang dari sudut guru dan dan sudut siswa, namun yang diberikan itu adalah nilai yang sama, maka pendidikan tenaga kependidikan pada umumnya dan guru pada khususnya sebagai pembinaan prajabatan, bertitik berat sekaligus dan sama beratnya pada tiga hal, yaitu melatih mahasiswa, calon guru atau calon tenaga kependidikan untuk mampu menjadi guru atau tenaga kependidikan yang baik, khususnya dalam hal ini untuk mampu bagi yang bersangkutan untuk melaksanakan tugas professional.

D. Beberapa Bentuk Pola Sikap Siswa dalam Belajar

Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Nana Syaodih Sukmadinata (2005) menyebutkan bahwa sebagian terbesar perkembangan individu berlangsung melalui kegiatan belajar. Lantas, apa sesungguhnya belajar itu ?

Sebelum membahas tentang pola sikap siswa dalam belajar alangkah lebih baik kita mengenal dulu apa itu belajar. Di bawah ini disampaikan tentang pengertian belajar dari para ahli :

1) Moh. Surya (1997) : “belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya”.

2) Witherington (1952) : “belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan”.

3) Crow & Crow dan (195 8) : “ belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru”.

4) Hilgard (1962) : “belajar adalah proses dimana suatu perilaku muncul perilaku muncul atau berubah karena adanya respons terhadap sesuatu situasi”

5) Di Vesta dan Thompson (1970) : “ belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman”.

6) Gage & Berliner : “belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang yang muncul karena pengalaman”

Dari beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci dari belajar adalah perubahan perilaku. Dalam hal ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu :

1) Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).

Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu proses belajar. Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar tentang psikologi pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha mempelajari tentang Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar Psikologi Pendidikan dia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku, dengan memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan dengan Psikologi Pendidikan.

2) Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).

Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya. Misalnya, seorang mahasiswa telah belajar Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat Belajar”. Ketika dia mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”, maka pengetahuan, sikap dan keterampilannya tentang “Hakekat Belajar” akan dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”.

3) Perubahan yang fungsional.

Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang. Contoh : seorang mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan, maka pengetahuan dan keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari dan mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari dan mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi guru.

4) Perubahan yang bersifat positif.

Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan. Misalnya, seorang mahasiswa sebelum belajar tentang Psikologi Pendidikan menganggap bahwa dalam dalam Prose Belajar Mengajar tidak perlu mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual atau perkembangan perilaku dan pribadi peserta didiknya, namun setelah mengikuti pembelajaran Psikologi Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan untuk menerapkan prinsip – prinsip perbedaan individual maupun prinsip-prinsip perkembangan individu jika dia kelak menjadi guru.

5) Perubahan yang bersifat aktif.

Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan. Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang psikologi pendidikan, maka mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan mengkaji buku-buku psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang psikologi pendidikan dan sebagainya.

6) Perubahan yang bersifat permanen.

Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar mengoperasikan komputer, maka penguasaan keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan menetap dan melekat dalam diri mahasiswa tersebut.

7) Perubahan yang bertujuan dan terarah.

Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya, seorang mahasiswa belajar psikologi pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang pendek mungkin dia ingin memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk kelulusan dengan memperoleh nilai A. Sedangkan tujuan jangka panjangnya dia ingin menjadi guru yang efektif dengan memiliki kompetensi yang memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai aktivitas dilakukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

8) Perubahan perilaku secara keseluruhan.

Prbahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, ttpi termasuk memperoleh pula perubahan dlm sikap & keterampilannya. Misalnya, mahasiswa belajar ttang “Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan tentang “Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya seorang guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.

Menurut Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan perilaku yang merupakan hasil belajar dapat berbentuk :

1) Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan sebagainya.

2) Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol matematika. Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam membedakan (discrimination), memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan masalah.

3) Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas yang efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil pembelajaran, sedangkan strategi kognitif lebih menekankan pada pada proses pemikiran.

4) Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih macam tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan memberikan kecenderungan bertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa, didalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak.

5) Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik.

Sementara itu, Moh. Surya (1997) mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak dalam :

1) Kebiasaan; seperti : peserta didik belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar.

2) Keterampilan; seperti : menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.

3) Pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar.

4) Berfikir asosiatif; yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan daya ingat.

5) Berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).

6) Sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan.

7) Inhibisi (menghindari hal yang mubazir).

8) Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu.

9) Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya.

Sedangkan menurut Bloom, perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil belajar meliputi perubahan dalam kawasan (domain) kognitif, afektif dan psikomotor, beserta tingkatan aspek-aspeknya. (lihat tautan ini : Taksonomi Perilaku Menurut Bloom)

Tags : contoh dalam kehidupan remaja (mahasiswa) dlm mengendalikan emosi, contoh makalah pendidikan anak usia dini, hubungan sekolah dalam perkembangan, kumpulan artikel tentang pendidikan dlm interaksi belajar mengajar, Makalah penegakan disiplin guru dan siswa dlm proses pembelajaran di sekolah, makalah perkembangan peserta didik, makalah psikologi pendidikan, norma-norma sosial yg terdapat dlm situasi belajar di sekolah, penegakan disiplin guru dan siswa dalam proses pembelajaran di sekolah, pengaruh pengetahuan tentang hubungan interpersonal, perkembangan emosi dan sosial anak serta upaya pembentukan kepribadiannya, Makalah Pengaruh Hukuman Terhadap Kemandirian Siswa dlm Belajar.

No comments:

Post a Comment

Make Money With CashCrate

t muslimah